Etika Menggunakan AI dalam Bingkai Fikih Informasi: 7 Prinsip Moral agar Teknologi Tak Menelan Kemanusiaan

Etika Menggunakan AI dalam Bingkai Fikih Informasi: 7 Prinsip Moral agar Teknologi Tak Menelan Kemanusiaan

Kita hidup di zaman ketika mesin mulai belajar memahami manusia. Ia tak punya wajah, tapi mengenali wajah kita. Ia tak punya hati, tapi mempelajari emosi kita. Di dunia digital yang semakin kompleks ini, manusia kini berhadapan dengan ciptaannya sendiri: kecerdasan buatan (AI). Teknologi ini menulis, berbicara, dan memutuskan — bahkan kadang lebih cepat dari pikiran penciptanya sendiri.

Tapi di tengah kekaguman terhadap kecanggihan ini, muncul pertanyaan yang lebih dalam: bagaimana manusia menjaga kemanusiaannya di hadapan mesin yang mampu berpikir ? Apakah kita masih punya ruang moral di tengah algoritma yang serba otomatis ? Di sinilah Fikih Informasi yang disusun Muhammadiyah menemukan relevansinya — sebagai panduan spiritual dan etis bagi manusia digital yang sedang mencari arah.

1. Ketauhidan: Menyadari Bahwa Ilmu dan Teknologi Hanyalah Amanah

Fikih Informasi memulai panduannya dari fondasi paling dasar: tauhid. Bahwa segala bentuk ilmu, pengetahuan, dan kecerdasan — termasuk kecerdasan buatan — hanyalah amanah dari Allah. Manusia boleh mencipta, tapi bukan berarti berkuasa mutlak atas ciptaannya.

Prinsip ini menolak segala bentuk “penuhanan teknologi”, yaitu ketika manusia mulai menganggap mesin lebih bijak dari dirinya sendiri. Padahal, sebagaimana firman Allah dalam QS Yunus [10]:57, pengetahuan sejati selalu datang sebagai “pelajaran dari Tuhanmu, penyembuh bagi penyakit dalam dada”.

Artinya, setiap kemajuan AI harus dikembalikan pada nilai pengabdian, bukan kesombongan. Dalam konteks ini, teknologi tidak boleh menjadi berhala baru yang membuat manusia kehilangan arah moralnya. Fikih Informasi ingin mengingatkan: semakin canggih ciptaanmu, semakin besar tanggung jawabmu di hadapan Sang Pencipta.

2. Akhlak Mulia: Ketika Mesin Menjadi Cermin Jiwa Penciptanya

Teknologi, secerdas apa pun, pada dasarnya hanyalah cermin. Ia memantulkan nilai-nilai yang manusia tanamkan ke dalamnya. Jika manusia menanamkan kebajikan, AI akan menjadi alat yang menebar manfaat. Tapi jika manusia memasukkan kebohongan, maka kebohongan itu akan berlipat ganda lewat sistem yang diciptakannya sendiri.

Itulah mengapa akhlak menjadi fondasi utama dalam menghadapi era AI. Allah memerintahkan dalam QS al-Tawbah [9]:119, “Bertakwalah kepada Allah dan jadilah bersama orang-orang yang jujur.”

Kejujuran di dunia digital berarti tidak menipu lewat manipulasi data, tidak membuat konten palsu, tidak menyalahgunakan teknologi untuk menyesatkan. Karena AI akan belajar dari apa yang kita berikan, kejujuran menjadi garis hidup agar teknologi tidak berubah menjadi cermin kegelapan.

3. Keadilan: Menjaga Teknologi agar Tidak Menjadi Alat Kezaliman

Dunia digital sering kali tampak netral, tapi sesungguhnya penuh bias tersembunyi. Algoritma bisa menghakimi tanpa sadar, menyingkirkan kelompok tertentu, atau memperluas ketimpangan sosial tanpa wajah.

Fikih Informasi menegaskan pentingnya keadilan — bukan sekadar moralitas individual, tapi sebagai sistem etika sosial. Allah berfirman dalam QS al-Ḥujurāt [49]:6, agar manusia “memeriksa setiap berita dengan teliti, supaya tidak menimpakan musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya.”

Ayat ini menjadi pedoman etika digital. Dalam konteks AI, ini berarti memastikan bahwa data yang digunakan tidak diskriminatif, bahwa keputusan mesin tidak melukai hak seseorang, dan bahwa manusia tetap menjadi penentu terakhir dalam keputusan penting.

Keadilan dalam AI berarti memastikan teknologi melayani manusia secara setara — bukan hanya mereka yang punya kuasa, data, atau modal besar.

Baca Juga  :  Rekomendasi 6 Aplikasi Smartphone untuk Mempelajari Ruang Angkasa

4. Amanah: Menjaga Kepercayaan di Dunia Informasi

Dunia digital hidup dari satu hal: kepercayaan. Setiap kali kita membagikan data pribadi, menekan tombol “setuju”, atau mengizinkan aplikasi mengakses kamera, kita sedang menyerahkan sebagian diri kepada sistem yang tak kasat mata.

Fikih Informasi memandang hal ini dalam bingkai amanah. Allah berfirman dalam QS al-Nisā’ [4]:58, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.”

Dalam konteks AI, amanah berarti menjaga data dengan penuh tanggung jawab. Data pribadi bukan barang dagangan, melainkan bagian dari kehormatan manusia. Maka, setiap pengembang dan pengguna teknologi wajib memastikan bahwa informasi yang ia kelola tidak disalahgunakan, tidak dijual tanpa izin, dan tidak dijadikan alat eksploitasi.

Di zaman ketika data lebih berharga daripada emas, menjaga amanah berarti menjaga kemanusiaan itu sendiri.

5. Tabayyun: Menyaring Informasi Sebelum Mempercayainya

Dalam era AI, informasi beredar secepat cahaya, tapi kebenarannya sering kabur. Mesin bisa meniru wajah, memalsukan suara, bahkan menciptakan gambar yang tak pernah terjadi di dunia nyata. Karena itu, Fikih Informasi menekankan semangat tabayyun — yaitu kehati-hatian intelektual dan spiritual sebelum mempercayai sesuatu.

QS Āli ‘Imrān [3]:138 menyebut bahwa Al-Qur’an adalah “penjelasan bagi manusia, petunjuk, dan pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.” Ini adalah panggilan agar manusia berpikir jernih di tengah derasnya arus data.

Tabayyun bukan sekadar memverifikasi berita; ia adalah bentuk ibadah akal. Dalam konteks AI, tabayyun berarti tidak langsung percaya pada hasil generatif tanpa memeriksa sumber, tidak menyebarkan konten yang belum teruji, dan tidak membiarkan emosi menggantikan nalar.

Di dunia di mana kecepatan dianggap kebenaran baru, tabayyun hadir sebagai rem moral — agar akal tidak terseret arus algoritma.

6. Mas’uliyyah: Tanggung Jawab Moral di Tengah Otomatisasi

Kecerdasan buatan bisa membuat keputusan, tapi tidak bisa menanggung akibatnya. Mesin bisa menghitung risiko, tapi tidak bisa menyesal. Karena itu, tanggung jawab tetap milik manusia.

Fikih Informasi menempatkan mas’uliyyah (tanggung jawab) sebagai prinsip terakhir yang menjaga batas antara manusia dan ciptaannya. Rasulullah SAW bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dalam dunia AI, tanggung jawab berarti tidak menyalahkan mesin ketika terjadi kesalahan. Misalnya, jika algoritma menyebarkan disinformasi atau menimbulkan diskriminasi, maka yang harus dievaluasi adalah manusia yang merancang, mengatur, dan mengizinkannya beroperasi.

Mas’uliyyah juga menuntut transparansi: pengguna berhak tahu bagaimana keputusan AI dibuat. Semakin besar kekuasaan teknologi, semakin besar pula tanggung jawab moral yang mengikutinya.

7. Lā Ḍarara wa Lā Ḍirār: Jangan Menciptakan Bahaya di Dunia Digital

Kaidah fikih lā ḍarara wa lā ḍirār — “tidak boleh menciptakan bahaya dan tidak boleh saling mencelakakan” — menjadi payung besar bagi seluruh etika digital.

AI memberi manusia kekuatan besar: bisa membuat gambar palsu, memanipulasi suara, atau menyebarkan narasi yang menipu jutaan orang dalam hitungan detik. Tapi kekuatan tanpa etika hanya akan menimbulkan kehancuran.

Fikih Informasi mengajarkan pengendalian diri: tidak semua yang bisa dilakukan, pantas dilakukan. Menggunakan AI untuk menipu publik, menciptakan deepfake, atau mempermalukan orang lain adalah bentuk baru dari kezaliman digital.

Etika ini mengingatkan kita bahwa di balik setiap klik, ada konsekuensi moral. Menahan diri dari bahaya bukan berarti anti-teknologi, tapi justru cara paling manusiawi dalam berteknologi.

Penutup: Menjaga Kemanusiaan di Tengah Kecerdasan Mesin

Kecerdasan buatan akan terus tumbuh — lebih cepat, lebih presisi, lebih pandai dari manusia dalam banyak hal. Tapi ada satu hal yang tak akan pernah bisa ditiru mesin: hati nurani. Mesin bisa berpikir, tapi tak bisa berdoa. Bisa memutuskan, tapi tak bisa menyesal.

Fikih Informasi ingin mengingatkan bahwa kemanusiaan bukan terletak pada kecepatan otak, melainkan pada kedalaman hati. Ketika teknologi mulai menggantikan banyak peran manusia, maka etika dan spiritualitas menjadi benteng terakhir agar manusia tidak kehilangan dirinya sendiri.

Kecerdasan bukanlah puncak peradaban; kebijaksanaanlah yang menuntun peradaban tetap bermartabat. Dan di zaman ketika mesin mulai meniru manusia, mungkin tugas terbesar manusia justru adalah menjaga agar dirinya tidak berubah menjadi mesin.