Komdigi dan Wacana Sertifikasi Influencer: Antara Upaya Lawan Hoaks dan Ancaman bagi Kebebasan Digital
Dalam satu dekade terakhir, dunia digital tumbuh dengan kecepatan yang sulit dibayangkan. Media sosial kini bukan lagi sekadar tempat hiburan atau berbagi foto, melainkan juga arena utama bagi pembentukan opini publik, penyebaran informasi, hingga ajang edukasi massal. Di tengah arus ini, influencer muncul sebagai aktor baru yang memainkan peran penting dalam membentuk persepsi masyarakat terhadap berbagai isu — mulai dari kesehatan, hukum, hingga keuangan.
Namun, semakin besar pengaruh mereka, semakin besar pula tanggung jawab yang menyertainya. Tak sedikit kasus di mana influencer menyebarkan informasi keliru, baik karena ketidaktahuan maupun demi sensasi. Fenomena ini memicu kekhawatiran global tentang dampak misinformasi digital. Di tengah kegelisahan itu, muncul langkah berani dari China, yang mulai menerapkan kebijakan sertifikasi wajib bagi influencer yang membahas topik profesional. Langkah inilah yang kini sedang dikaji oleh Komdigi (Kementerian Komunikasi dan Digital Indonesia) sebagai kemungkinan kebijakan baru di Tanah Air.
Sertifikasi Influencer di China: Langkah Tegas Demi Kredibilitas
Pada 10 Oktober 2025, Pemerintah China melalui Administrasi Radio dan Televisi Negara (NRTA) bersama Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata merilis aturan baru yang secara khusus menargetkan para pembuat konten profesional. Aturan itu menyebutkan bahwa siapa pun yang ingin membuat konten di bidang kedokteran, hukum, keuangan, pendidikan, dan kesehatan wajib memiliki sertifikasi atau kualifikasi akademik yang relevan.
Kebijakan ini tidak hanya berlaku secara simbolik, melainkan benar-benar diterapkan secara sistematis di tingkat platform. Platform besar seperti Douyin (versi Tiongkok dari TikTok), Bilibili, dan Weibo diwajibkan untuk memverifikasi kelayakan profesional para kreator sebelum mereka boleh memublikasikan konten dalam kategori tersebut. Jika melanggar, sanksinya tidak main-main: denda hingga 100.000 yuan atau sekitar Rp230 juta, bahkan hingga penutupan akun permanen.
Langkah China ini diambil untuk menekan penyebaran hoaks dan meningkatkan integritas informasi publik. Pemerintah menilai bahwa konten profesional seperti kesehatan atau hukum harus disampaikan oleh pihak yang memiliki kompetensi agar masyarakat tidak tersesat oleh pendapat tanpa dasar ilmiah. Dalam konteks sosial-politik China yang sangat menekankan stabilitas dan kontrol informasi, kebijakan ini dianggap sejalan dengan upaya menjaga “ruang digital yang bersih”.
Komdigi Indonesia Mulai Mengkaji: Belajar dari China, Bukan Meniru
Kebijakan di China tersebut menarik perhatian banyak negara, termasuk Indonesia. Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) melalui Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM), Bonifasius Wahyu Pudjianto, mengonfirmasi bahwa pihaknya sedang melakukan kajian internal terhadap kebijakan serupa. Menurutnya, langkah ini bukan berarti Indonesia akan meniru begitu saja, melainkan untuk belajar dan menilai apakah mekanisme semacam itu cocok diterapkan di dalam negeri.
Bonifasius menjelaskan bahwa Komdigi secara rutin memantau perkembangan kebijakan digital di negara lain. Ia mencontohkan bahwa Indonesia sebelumnya juga menyesuaikan kebijakan perlindungan anak di dunia maya dengan belajar dari Australia, yang akhirnya melahirkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP Tunas). Dengan cara yang sama, kajian terhadap sertifikasi influencer di China dilakukan sebagai bagian dari proses pembelajaran lintas negara.
Namun, hingga saat ini belum ada keputusan final. Komdigi masih menimbang dua hal penting: bagaimana meningkatkan kompetensi para pembuat konten agar tidak menyesatkan publik, dan di sisi lain, bagaimana menjaga kebebasan berekspresi agar kebijakan baru tidak justru mengekang kreativitas digital masyarakat Indonesia yang sangat dinamis.
Tantangan Utama: Menjaga Keseimbangan antara Regulasi dan Kebebasan
Sertifikasi influencer mungkin terdengar seperti ide yang menarik dan logis, terutama di tengah maraknya penyebaran informasi palsu. Namun penerapannya tidak sesederhana itu. Bonifasius menegaskan bahwa pemerintah perlu berhati-hati agar tidak menimbulkan efek domino negatif terhadap industri kreatif.
Indonesia memiliki lebih dari 200 juta pengguna internet aktif, dengan jutaan kreator konten di berbagai platform. Pertanyaannya, siapa yang akan menjadi sasaran kebijakan ini jika diterapkan? Apakah hanya influencer besar dengan jutaan pengikut, atau juga pembuat konten kecil yang sekadar berbagi edukasi di TikTok dan YouTube ?
Selain itu, bagaimana mekanisme sertifikasi akan diterapkan? Apakah akan ada tingkatan tertentu sesuai bidang profesi? Bagaimana sistem verifikasi kelayakan profesionalnya, dan lembaga mana yang akan bertanggung jawab? Semua pertanyaan ini masih belum memiliki jawaban yang pasti.
Di satu sisi, sertifikasi bisa menjadi tolok ukur kredibilitas, membantu masyarakat membedakan antara konten yang valid dan yang asal bicara. Di sisi lain, terlalu banyak aturan bisa menimbulkan chilling effect, yakni kondisi di mana kreator takut membuat konten karena khawatir melanggar aturan yang belum jelas.
Baca juga : Pengaruh Teknologi Kereta Cepat dalam Bidang Ekonomi Masyarakat
Ancaman terhadap Kreativitas dan Industri Digital
Salah satu kekhawatiran terbesar dari kalangan kreator adalah potensi hambatan bagi kebebasan berekspresi. Dunia digital Indonesia tumbuh pesat justru karena ekosistemnya yang terbuka. Banyak influencer yang lahir dari kreativitas tanpa latar akademik formal, namun mampu memberikan dampak positif dan edukatif.
Jika aturan sertifikasi diterapkan tanpa batas yang jelas, bisa jadi inovasi digital malah terhambat. Misalnya, kreator yang berbicara tentang kesehatan mental mungkin harus memiliki sertifikasi psikologi. Padahal, banyak di antara mereka adalah penyintas yang berbagi pengalaman pribadi, bukan profesional medis. Dalam kasus seperti ini, aturan yang terlalu kaku bisa menghilangkan suara-suara penting yang justru dibutuhkan publik.
Selain itu, industri kreatif digital merupakan salah satu sektor dengan kontribusi ekonomi signifikan di Indonesia. Data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menunjukkan bahwa ekosistem konten digital berperan dalam meningkatkan perekonomian kreatif, menciptakan lapangan kerja baru, dan memperluas akses terhadap edukasi informal. Regulasi yang tidak tepat sasaran berpotensi menghambat pertumbuhan sektor ini, terutama bagi pelaku kecil yang tidak memiliki sumber daya untuk mengikuti sertifikasi formal.
Dampak Positif yang Mungkin Muncul
Meskipun menimbulkan kekhawatiran, wacana sertifikasi influencer juga memiliki potensi manfaat yang besar jika dirancang dengan cermat. Pertama, kebijakan ini bisa membantu meningkatkan kualitas konten edukatif di ranah digital. Dengan adanya verifikasi, masyarakat bisa lebih percaya terhadap informasi yang disampaikan oleh influencer yang memang ahli di bidangnya.
Kedua, sertifikasi dapat berfungsi sebagai bentuk standarisasi etika digital, memastikan bahwa para influencer memahami tanggung jawab moral mereka dalam menyampaikan informasi kepada publik. Ketiga, kebijakan ini bisa menjadi filter alami terhadap konten palsu dan berita bohong yang sering kali menyesatkan masyarakat luas.
Jika diimplementasikan secara transparan, kebijakan ini justru dapat memperkuat ekosistem digital yang sehat, di mana setiap pembuat konten sadar akan batasan dan tanggung jawabnya. Namun, kunci keberhasilan tetap terletak pada keseimbangan antara regulasi dan kebebasan.
Dialog Terbuka dan Pendekatan Bertahap
Komdigi sendiri menegaskan bahwa mereka terbuka terhadap masukan publik dalam proses kajian ini. Artinya, pemerintah tidak akan tergesa-gesa mengambil keputusan sebelum mendengar pandangan dari berbagai pihak — mulai dari akademisi, pelaku industri digital, komunitas kreator, hingga masyarakat umum.
Pendekatan bertahap menjadi kunci agar kebijakan ini tidak justru menimbulkan penolakan luas. Salah satu opsi yang bisa dipertimbangkan adalah penerapan sertifikasi sukarela terlebih dahulu, di mana influencer yang memiliki sertifikat mendapat label verifikasi resmi dari pemerintah. Dengan cara ini, tidak ada paksaan, namun publik dapat menilai sendiri mana kreator yang memiliki kompetensi profesional dan mana yang tidak.
Langkah bertahap semacam ini juga dapat membantu pemerintah mengukur efektivitas kebijakan, sekaligus memperbaiki celah teknis sebelum benar-benar menjadi aturan wajib.
Menuju Ekosistem Digital yang Cerdas dan Bertanggung Jawab
Pada akhirnya, tujuan dari kajian Komdigi bukan sekadar meniru China atau membatasi ruang berekspresi, melainkan untuk menciptakan ekosistem digital yang cerdas, aman, dan bertanggung jawab. Dunia digital Indonesia yang sangat dinamis memang membutuhkan standar tertentu agar tidak kebablasan.
Namun, setiap langkah regulasi harus disertai pendekatan dialogis dan pemahaman terhadap kultur digital lokal. Tidak semua kebijakan luar negeri cocok diterapkan begitu saja. Indonesia memiliki keunikan tersendiri: masyarakatnya kreatif, plural, dan sering kali memadukan hiburan dengan edukasi dalam satu paket konten.
Sertifikasi influencer mungkin bisa menjadi solusi untuk meningkatkan kualitas informasi, tetapi hanya jika diterapkan dengan proporsional, inklusif, dan adaptif terhadap perkembangan zaman.
Kesimpulan
Kajian Komdigi tentang sertifikasi influencer menandai babak baru dalam perjalanan regulasi dunia digital Indonesia. Di satu sisi, langkah ini menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menghadapi tantangan besar berupa penyebaran hoaks dan misinformasi. Namun di sisi lain, kebijakan ini juga mengandung risiko jika diterapkan tanpa pertimbangan matang.
Keseimbangan antara integritas informasi dan kebebasan berekspresi akan menjadi ujian utama bagi pemerintah. Bila dijalankan dengan prinsip partisipatif dan transparan, sertifikasi influencer bisa menjadi tonggak penting menuju dunia digital Indonesia yang lebih berkualitas — di mana pengetahuan, kreativitas, dan tanggung jawab berjalan seiring demi kemajuan masyarakat.