Setiap era punya janji kemajuannya sendiri. Dulu mesin uap, lalu listrik, komputer, internet, hingga kini kecerdasan buatan dan dunia virtual. Narasinya hampir selalu seragam: teknologi akan membawa manusia menuju masa depan yang lebih efisien, lebih pintar, dan lebih sejahtera. Namun di balik janji tersebut, ada ironi yang terus berulang. Masalah hari ini tetap ada, bahkan sering semakin kompleks, sementara solusi selalu dijanjikan “nanti”.
Teknologi tidak pernah hadir di ruang hampa. Ia dibangun, didanai, dan diarahkan oleh kepentingan tertentu. Karena itulah, memahami mengapa teknologi lebih sibuk membayangkan masa depan daripada memperbaiki masalah sekarang menjadi penting, agar kita tidak sekadar menjadi penonton kemajuan, tetapi subjek yang sadar dan kritis.
Berikut delapan alasan utama yang menjelaskan fenomena tersebut.
1. Masa Depan Adalah Narasi yang Paling Mudah Dijual
Masa depan adalah wilayah imajinasi, bukan realitas yang bisa langsung diuji. Dalam dunia teknologi, menjual visi jauh lebih mudah daripada membuktikan dampak. Presentasi tentang “dunia lima tahun ke depan” tidak perlu bertanggung jawab pada kegagalan hari ini. Jika tidak tercapai, jawabannya sederhana: teknologinya belum matang, regulasinya belum siap, atau manusianya belum siap.
Sebaliknya, mengatasi masalah hari ini menuntut hasil konkret, terukur, dan bisa langsung dikritik. Ketika solusi gagal, tidak ada ruang bersembunyi di balik janji. Karena itulah, teknologi cenderung memilih masa depan sebagai panggung utama. Di sana, harapan bisa diproduksi tanpa perlu menyelesaikan luka yang sudah ada.
2. Masalah Nyata Terlalu Kompleks untuk Disederhanakan
Banyak persoalan manusia tidak bisa direduksi menjadi masalah teknis. Kemiskinan, ketimpangan, kesehatan mental, dan eksploitasi tenaga kerja memiliki akar sosial, budaya, dan politik yang panjang. Teknologi, yang bekerja dengan logika efisiensi dan optimasi, sering kali tidak nyaman berhadapan dengan kompleksitas ini.
Alih-alih mengurai akar masalah, teknologi memilih membuat lapisan baru di atasnya. Aplikasi dibuat untuk “mengelola” stres, bukan mengubah sistem kerja yang menyebabkan stres. Platform pendidikan dikembangkan tanpa memperbaiki ketimpangan akses dasar. Akhirnya, teknologi menjadi perban digital yang menutup luka, bukan menyembuhkannya.
Baca juga : Kenapa Metaverse Belakangan Ini Sudah Jarang Terdengar?
3. Logika Bisnis Lebih Menentukan Arah Inovasi
Teknologi modern berkembang di bawah logika pasar. Inovasi diarahkan pada apa yang bisa menghasilkan keuntungan, bukan pada apa yang paling dibutuhkan masyarakat. Masalah hari ini sering kali berkaitan dengan kelompok yang tidak punya daya beli besar, sehingga tidak menarik secara bisnis.
Sebaliknya, masa depan menawarkan potensi pasar yang luas dan belum tergarap. Investor lebih tertarik pada janji pertumbuhan daripada solusi sosial jangka panjang. Akibatnya, teknologi bergerak ke arah spekulasi masa depan, meninggalkan persoalan mendesak yang tidak menjanjikan profit cepat.
4. Janji Masa Depan Mengalihkan Tanggung Jawab Hari Ini
Narasi teknologi sering kali berfungsi sebagai alat penundaan. Ketika solusi dijanjikan oleh inovasi yang belum ada, tanggung jawab manusia dan institusi menjadi kabur. Pemerintah bisa menunggu teknologi, perusahaan bisa menunggu otomatisasi, dan masyarakat diajak bersabar.
Padahal, banyak masalah membutuhkan keputusan etis dan kebijakan segera, bukan alat baru. Dengan terus menunjuk masa depan, teknologi tanpa sadar—or justru sengaja—menjadi alasan untuk tidak bertindak hari ini.
5. Teknologi Lebih Suka Gejala daripada Akar Masalah
Teknologi unggul dalam menangani sesuatu yang terukur dan terlihat. Namun akar masalah sering kali abstrak dan tidak nyaman. Akibatnya, yang ditangani adalah gejala, bukan penyebab.
Kecanduan digital diatasi dengan fitur pengingat waktu layar, bukan dengan mengubah desain adiktif aplikasi. Produktivitas rendah dijawab dengan alat manajemen waktu, bukan dengan memperbaiki kondisi kerja. Fokus pada gejala menciptakan ilusi solusi, sementara masalah inti tetap bercokol.
6. Pembuat Teknologi Jarang Hidup dalam Masalah yang Ingin Diselesaikan
Banyak inovasi lahir dari ruang nyaman: kampus elit, kantor modern, dan ekosistem teknologi yang relatif aman secara ekonomi. Ketika pembuat teknologi tidak mengalami langsung kesulitan yang dialami pengguna, solusi yang lahir sering kali bersifat asumtif.
Masalah hari ini dipandang dari kejauhan, bukan dari dalam. Akibatnya, teknologi yang dihasilkan terasa asing, kaku, dan tidak menyentuh realitas hidup masyarakat luas. Masa depan dibayangkan dari sudut pandang yang sempit.
7. Bahasa Teknologi Membungkam Kritik
Teknologi sering dibungkus dengan istilah teknis, jargon futuristik, dan klaim objektivitas. Bahasa ini membuat kritik terasa tidak sah atau dianggap sebagai ketidaktahuan. Siapa pun yang mempertanyakan dampak hari ini sering dicap anti-kemajuan.
Dengan cara ini, diskusi etis dan sosial tersingkir. Teknologi melaju tanpa rem kritis, sementara dampaknya pada kehidupan sehari-hari jarang dibahas secara terbuka. Masa depan menjadi tameng dari pertanyaan yang seharusnya diajukan sekarang.
8. Kita Terlalu Terpesona oleh “Nanti” dan Melupakan “Sekarang”
Sebagai masyarakat, kita ikut terlibat dalam ilusi ini. Kita diajak mengagumi prototipe, demo, dan visi futuristik, sementara realitas hari ini dianggap membosankan. Masalah lama dianggap tidak seksi dan tidak layak perhatian.
Padahal, masa depan tidak pernah datang dalam ruang kosong. Ia dibangun dari keputusan hari ini. Ketika teknologi terus melompat ke depan tanpa menoleh ke belakang, yang tertinggal bukan hanya masalah, tetapi manusia itu sendiri.
9. Ketika Teknologi Menganggap Waktu Manusia Tak Pernah Mendesak
Salah satu asumsi tersembunyi dalam narasi teknologi adalah bahwa manusia selalu punya waktu untuk menunggu. Menunggu versi berikutnya, pembaruan sistem, atau inovasi yang “akan segera datang”. Padahal, bagi banyak orang, masalah hidup bersifat mendesak dan tidak bisa ditunda. Upah yang tidak cukup, akses kesehatan yang buruk, beban kerja berlebih, dan tekanan mental terjadi sekarang, bukan di masa depan.
Ketika teknologi terus menjanjikan solusi jangka panjang, ia secara tidak langsung mengabaikan urgensi hidup manusia. Logika ini berbahaya karena menormalkan penundaan penderitaan. Seolah-olah ketidakadilan hari ini adalah harga wajar demi kemajuan esok hari. Padahal, waktu tidak pernah netral. Mereka yang berada di posisi aman bisa menunggu, sementara yang berada di bawah tekanan tidak punya kemewahan tersebut. Teknologi yang tidak peka terhadap urgensi waktu manusia akhirnya memperlebar jurang, bukan menjembataninya.
Penutup: Masa Depan yang Baik Dimulai dari Keberanian Menghadapi Hari Ini
Teknologi tidak salah bermimpi tentang masa depan. Yang bermasalah adalah ketika mimpi itu digunakan untuk menghindari tanggung jawab hari ini. Kemajuan sejati bukan diukur dari seberapa canggih alat yang kita ciptakan, tetapi dari seberapa berani kita menghadapi persoalan nyata yang sudah ada di depan mata.
Jika teknologi ingin benar-benar menjadi alat pembebasan, ia harus berhenti hanya menjanjikan “nanti” dan mulai bekerja untuk “sekarang”. Karena masa depan yang adil tidak lahir dari pengabaian, melainkan dari keberanian memperbaiki hari ini.