5 Fakta Penting Kajian Komdigi soal Teknologi Satelit Langsung ke HP, Ala “Direct to Cell” Starlink

5 Fakta Penting Kajian Komdigi soal Teknologi Satelit Langsung ke HP, Ala “Direct to Cell” Starlink

Pendahuluan

Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) tengah mengkaji sebuah inovasi besar yang bisa mengubah masa depan konektivitas di Indonesia: teknologi satelit langsung ke ponsel atau Direct-to-Device (NTN-D2D).

Langkah ini membuka peluang baru bagi masyarakat di wilayah terpencil yang selama ini sulit mendapatkan sinyal seluler. Bayangkan, tanpa menara BTS pun, ponsel biasa bisa langsung terhubung ke satelit dan mengirim pesan seperti di kota besar.

Kajian ini, yang dituangkan dalam dokumen Call for Information (CFI), menjadi sinyal bahwa pemerintah serius mempersiapkan regulasi untuk era baru komunikasi berbasis satelit. Konsepnya mirip dengan layanan “Direct to Cell” milik Starlink, yang sedang menjadi tren global karena mampu menutup “blank spot” jaringan seluler. Berikut adalah lima poin utama yang menjelaskan mengapa langkah Komdigi ini bisa menjadi revolusi digital di Indonesia.

1. Apa Itu Teknologi NTN-D2D dan Mengapa Penting untuk Indonesia ?

NTN-D2D (Non-Terrestrial Network Direct-to-Device) adalah sistem komunikasi yang memungkinkan ponsel berinteraksi langsung dengan satelit, tanpa perlu bantuan menara BTS (Base Transceiver Station). Dengan teknologi ini, sinyal tidak lagi bergantung pada jaringan darat, melainkan langsung ditransmisikan dari satelit di orbit ke perangkat pengguna.

Kelebihannya sangat jelas: teknologi ini mampu menjangkau wilayah-wilayah terpencil, perbatasan, hingga perairan Indonesia — area yang selama ini sulit dijangkau jaringan konvensional. Negara kepulauan seperti Indonesia, dengan lebih dari 17.000 pulau, memang menghadapi tantangan besar dalam membangun infrastruktur menara seluler. Karena itu, konsep komunikasi langsung ke satelit dianggap sebagai solusi realistis untuk pemerataan digital nasional.

Selain itu, NTN-D2D bukan sekadar layanan darurat. Di masa depan, teknologi ini dapat digunakan untuk komunikasi rutin, akses data, hingga sistem navigasi darurat di laut atau pegunungan.

Dengan kata lain, teknologi ini bukan hanya soal kecepatan, tetapi soal keadilan digital — memastikan bahwa setiap warga, di mana pun berada, memiliki akses yang sama terhadap komunikasi modern.

2. Komdigi Mulai Konsultasi Publik: Mengundang Operator, Akademisi, dan Masyarakat

Untuk memastikan kebijakan ini berjalan dengan tepat, Komdigi membuka konsultasi publik melalui dokumen Call for Information (CFI). Konsultasi ini dikelola oleh Direktorat Penataan Spektrum Frekuensi Radio, Orbit Satelit, dan Standardisasi Infrastruktur Digital, di bawah Direktorat Jenderal Infrastruktur Digital Komdigi.

Tujuan dari konsultasi ini bukan sekadar formalitas, melainkan untuk menghimpun pandangan dari berbagai pemangku kepentingan, mulai dari operator telekomunikasi, penyedia layanan satelit, industri perangkat, asosiasi teknologi, akademisi, hingga masyarakat umum.

Masukan yang diterima akan digunakan sebagai bahan penyusunan regulasi dan kebijakan teknis, termasuk:

Pengaturan penggunaan spektrum frekuensi 2 GHz untuk layanan satelit langsung ke perangkat.

Skema kerja sama antaroperator.

Model bisnis yang berkelanjutan.

Standar teknis untuk kompatibilitas perangkat.

Keterlibatan publik di tahap awal ini menunjukkan bahwa pemerintah ingin membangun ekosistem komunikasi satelit yang inklusif, bukan sekadar proyek elit atau korporasi besar. Dengan melibatkan semua pihak, Indonesia diharapkan memiliki regulasi yang tidak hanya canggih secara teknologi, tapi juga adil secara sosial dan ekonomi.

Baca Juga  :  Teknologi Deteksi Gelombang Tsunami: Menyelamatkan Dunia dari Amukan Lautan

3. Mengapa 2 GHz Jadi Pita Frekuensi Kunci dalam Kajian Ini ?

Salah satu fokus utama dalam dokumen CFI Komdigi adalah pemanfaatan pita frekuensi 2 GHz. Frekuensi ini dinilai ideal karena memiliki karakteristik jangkauan luas dengan penetrasi sinyal yang baik, cocok untuk komunikasi lintas wilayah, baik di darat, laut, maupun udara.

Di banyak negara, pita 2 GHz digunakan untuk layanan seluler dan satelit dengan performa yang seimbang antara kecepatan dan jarak. Dalam konteks Indonesia, penggunaan frekuensi ini dapat mengurangi kebutuhan infrastruktur darat, terutama di daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal).

Selain NTN-D2D, Komdigi juga sedang mempelajari teknologi Air-to-Ground (A2G), yang memungkinkan komunikasi langsung antara pesawat dan jaringan darat. A2G dan D2D bisa saling melengkapi, menciptakan sistem komunikasi yang menyeluruh dari daratan, udara, hingga ruang angkasa.

Dengan pengaturan frekuensi yang tepat, Indonesia bisa memaksimalkan efisiensi spektrum sekaligus memperkuat ketahanan komunikasi nasional. Hal ini penting dalam situasi bencana, keamanan nasional, atau operasi darurat di area tanpa jaringan seluler konvensional.

4. Mendukung Indonesia Emas 2045 dan Agenda Asta Cita Pemerintahan Prabowo-Gibran

Langkah Komdigi ini bukan sekadar proyek teknologi, melainkan bagian dari strategi besar pembangunan digital nasional. Kajian NTN-D2D dan A2G merupakan bagian dari pelaksanaan Rencana Strategis Komdigi 2025–2029, yang juga mendukung Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029.

Semua inisiatif ini sejalan dengan visi Indonesia Emas 2045, yaitu menciptakan negara maju berbasis inovasi dan teknologi digital. Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka melalui agenda Asta Cita, menekankan pentingnya kedaulatan digital, pemerataan konektivitas, dan ketahanan teknologi nasional.

NTN-D2D bisa menjadi pilar utama dalam mewujudkan visi tersebut, karena:

1. Menutup kesenjangan digital antara kota besar dan wilayah 3T.

2. Memberi akses komunikasi darurat bagi masyarakat di area bencana.

3. Mendukung transformasi digital di sektor maritim, penerbangan, dan pertahanan.

4. Membuka peluang investasi baru di industri satelit dan telekomunikasi.

Jika diterapkan dengan tepat, teknologi ini tidak hanya menjembatani jarak komunikasi, tetapi juga meningkatkan daya saing ekonomi Indonesia di era digital global.

5. Tren Global: Starlink Jadi Contoh Nyata, Tapi Indonesia Butuh Model Sendiri

Konsep NTN-D2D memang tengah menjadi tren internasional, terutama setelah Starlink memperkenalkan layanan Direct to Cell, yang memungkinkan ponsel biasa mengirim pesan langsung lewat satelit tanpa perangkat tambahan.

Model ini membuka revolusi baru di dunia telekomunikasi, karena pengguna tak perlu lagi bergantung pada sinyal menara — cukup dengan ponsel konvensional, mereka bisa tetap terhubung di mana pun, bahkan di tengah lautan.

Namun, penerapan di Indonesia perlu disesuaikan dengan kondisi geografis dan regulasi nasional. Dengan luas wilayah yang kompleks, ribuan pulau, dan kepadatan penduduk yang beragam, model bisnis satelit Indonesia tidak bisa sepenuhnya meniru Starlink.

Komdigi menekankan pentingnya kolaborasi antaroperator dan regulasi spektrum yang adil, agar teknologi ini tidak dikuasai satu pihak saja. Pemerintah ingin menciptakan ekosistem terbuka, di mana operator lokal, penyedia satelit, dan industri perangkat bisa saling berkolaborasi.

Selain itu, Komdigi juga memperhatikan aspek keamanan data dan kedaulatan digital. Dengan konektivitas berbasis satelit, arus data bisa melewati lintas batas negara. Karena itu, sistem regulasi harus menjamin agar informasi strategis Indonesia tetap terlindungi dan tidak mudah diakses pihak asing.

Langkah hati-hati ini penting agar Indonesia tidak sekadar menjadi pasar teknologi global, tetapi menjadi pemain aktif dalam industri satelit dunia.

Masa Depan: Satelit Langsung ke HP Bisa Ubah Wajah Komunikasi Nasional

Jika kajian ini berhasil diterapkan, dampaknya bisa sangat besar bagi masyarakat Indonesia. Bayangkan nelayan di Natuna bisa mengirim pesan tanpa sinyal darat, pendaki di Papua bisa melapor kondisi darurat, atau petani di pulau kecil bisa mengakses informasi cuaca tanpa internet kabel.

Selain itu, teknologi NTN-D2D bisa mengubah model ekonomi digital. Operator seluler tidak lagi terbatas oleh lokasi BTS, penyedia satelit bisa bekerja sama langsung dengan produsen ponsel, dan pemerintah bisa memantau infrastruktur komunikasi secara real time melalui sistem orbit.

Pemerataan konektivitas juga akan berdampak pada sektor pendidikan, kesehatan, dan pemerintahan digital. Akses internet yang stabil akan memperluas e-learning, telemedicine, dan layanan publik berbasis digital hingga ke pelosok Nusantara.

Dalam jangka panjang, Indonesia bisa mengembangkan satelit nasional khusus D2D yang dirancang dan dioperasikan oleh anak bangsa. Hal ini akan memperkuat posisi strategis Indonesia di sektor luar angkasa Asia Tenggara.

Kesimpulan

Kajian teknologi Non-Terrestrial Network Direct-to-Device (NTN-D2D) oleh Komdigi adalah langkah besar menuju masa depan komunikasi tanpa batas. Dengan potensi menjangkau wilayah 3T, memperkuat ketahanan komunikasi nasional, dan membuka peluang ekonomi digital baru, inisiatif ini menjadi bagian penting dari perjalanan menuju Indonesia Emas 2045.

Namun, keberhasilan proyek ini akan sangat bergantung pada kolaborasi antara pemerintah, industri, dan masyarakat. Regulasi yang jelas, tata kelola spektrum yang adil, dan keamanan data yang kuat harus berjalan seiring dengan inovasi teknologi.

Jika semua elemen tersebut bersinergi, maka tidak berlebihan untuk mengatakan: era di mana ponsel terhubung langsung ke satelit bukan lagi impian — tapi masa depan komunikasi Indonesia.