Empat Kelompok Pengguna AI: Kamu Termasuk yang Mana ?
Kehadiran kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) telah menjadi salah satu tonggak revolusi teknologi terbesar abad ke-21. Dari mesin pencari hingga sistem pembelajaran mandiri, dari dunia bisnis hingga pendidikan, AI kini telah hadir di setiap aspek kehidupan manusia. Namun, seiring pesatnya perkembangan teknologi ini, cara manusia memandang dan menanggapinya ternyata tidak seragam. Ada yang melihat AI sebagai ancaman bagi eksistensi manusia, ada pula yang memandangnya sebagai peluang emas untuk kemajuan peradaban.
Pandangan menarik mengenai hal ini disampaikan oleh Ahmad Najib Burhani, Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dalam kolomnya di Kompas edisi Jumat (24/10) bertajuk “Pembelajaran dengan AI.” Ia membagi masyarakat dunia ke dalam empat kelompok besar dalam menyikapi fenomena AI: AI pessimists, skeptical adopters, pragmatic users, dan AI enthusiasts. Klasifikasi ini pertama kali muncul dalam seminar nasional SiberMu National Seminar on Business, Technology, and Health (SINABTECH) 2025 di Yogyakarta, dan merupakan adaptasi dari materi yang dibawakan Patrick Moyle dan Becah Buselle di konferensi internasional ISTE 2025 di Texas, Amerika Serikat.
Melalui pembagian ini, Najib tak hanya menyoroti bagaimana masyarakat bereaksi terhadap AI, tetapi juga mengajak kita merenungkan: di kelompok manakah kita berada? Yuk, simak penjelasan lengkapnya di bawah ini.
AI Pessimists: Mereka yang Takut Akan “Akhir Peradaban”
Kelompok pertama disebut AI pessimists—mereka yang memandang AI sebagai ancaman serius bagi masa depan umat manusia. Golongan ini dipenuhi oleh kekhawatiran bahwa mesin suatu hari akan menggantikan peran manusia sepenuhnya, mengambil pekerjaan, menghapus makna kreativitas, bahkan menandai “akhir peradaban manusia.”
Para pesimis biasanya fokus pada sisi gelap teknologi: munculnya pengangguran massal akibat otomatisasi, penyalahgunaan AI untuk propaganda, penyebaran disinformasi, hingga risiko etis seperti deepfake dan manipulasi opini publik. Mereka menilai AI sebagai sesuatu yang tak bisa sepenuhnya dikendalikan dan berpotensi menimbulkan bencana sosial bila tidak diatur dengan ketat.
Kecemasan mereka bukan tanpa dasar. Sejarah teknologi menunjukkan bahwa setiap revolusi industri selalu meninggalkan “korban” dalam bentuk kehilangan pekerjaan dan perubahan sosial besar. Namun, kelompok ini cenderung menempatkan AI dalam posisi antagonis, seolah-olah kecerdasan buatan akan menjadi pesaing manusia, bukan mitra. Dalam konteks pendidikan dan pembelajaran, para AI pessimists sering menolak penggunaan AI karena dianggap dapat merusak esensi belajar manusiawi—seperti empati, intuisi, dan nilai moral.
Baca Juga : Kesalahan yang Bisa Merusak Power Bank: Hindari Agar Tak Kering Tanpa Waspada
Skeptical Adopters: Pengguna Hati-Hati yang Masih Menimbang
Kelompok kedua adalah skeptical adopters atau pengguna yang skeptis namun tidak sepenuhnya menolak. Mereka bersikap waspada dan cenderung meragukan klaim positif tentang manfaat AI. Bagi mereka, AI memang menawarkan kemudahan dan efisiensi, tetapi juga membawa banyak risiko tersembunyi yang belum tentu dapat diprediksi sekarang.
Skeptical adopters umumnya bersikap “tunggu dan lihat.” Mereka menggunakan AI, namun dengan batasan ketat. Misalnya, seorang guru mungkin memakai ChatGPT atau Copilot untuk membantu menyusun materi pelajaran, tapi tetap memastikan hasilnya disaring dan diverifikasi. Atau seorang jurnalis yang memakai AI untuk riset, tapi tetap menulis dengan gaya dan analisis sendiri.
Mereka cenderung realistis dan kritis terhadap euforia yang berlebihan. Bagi mereka, AI hanyalah alat, bukan penyelamat. Kelompok ini banyak ditemukan di kalangan akademisi, profesional, dan praktisi hukum atau etika yang menuntut regulasi dan akuntabilitas jelas sebelum AI diterapkan luas.
Meski berhati-hati, kelompok ini berperan penting dalam menjaga keseimbangan antara inovasi dan tanggung jawab. Mereka menjadi “rem moral” yang memastikan perkembangan AI tidak berjalan terlalu cepat tanpa pertimbangan sosial dan etis yang matang.
Pragmatic Users: Fokus pada Manfaat Nyata
Berbeda dengan dua kelompok sebelumnya, pragmatic users tidak terlalu peduli pada debat filosofis atau isu eksistensial tentang AI. Bagi mereka, AI hanyalah alat bantu yang praktis untuk menyelesaikan pekerjaan lebih cepat dan efisien.
Golongan ini menggunakan AI dengan pendekatan “guna langsung.” Contohnya, pelaku UMKM yang memakai AI untuk membuat desain promosi, pegawai yang memanfaatkan asisten AI untuk menulis laporan, atau mahasiswa yang menggunakan alat pembuat ringkasan otomatis untuk mempercepat proses belajar.
Mereka tidak tertarik mendiskusikan apakah AI akan menggantikan manusia di masa depan, karena fokus utama mereka adalah hasil saat ini: efisiensi, produktivitas, dan kemudahan. AI dianggap seperti kalkulator atau komputer—selama bisa membantu pekerjaan, mereka akan memakainya.
Namun, pragmatisme ini juga punya sisi risiko. Karena terlalu fokus pada manfaat jangka pendek, kelompok ini kadang mengabaikan aspek etika, keamanan data, atau dampak jangka panjang dari ketergantungan terhadap AI. Meskipun demikian, kelompok ini justru menjadi kekuatan utama dalam adopsi AI secara luas di dunia kerja, pendidikan, dan bisnis. Mereka adalah bukti nyata bahwa teknologi bisa menjadi alat pemberdayaan, bukan sekadar teori futuristik.
AI Enthusiasts: Penganut Optimisme Teknologi
Kelompok terakhir adalah AI enthusiasts, yaitu mereka yang sangat antusias terhadap potensi AI untuk mentransformasi dunia menjadi lebih baik. Golongan ini melihat AI sebagai simbol kemajuan manusia, inovasi tanpa batas, dan peluang besar bagi masa depan.
Para penggemar AI meyakini bahwa kecerdasan buatan bukan ancaman, melainkan tonggak baru evolusi peradaban manusia. Mereka percaya AI bisa menjadi solusi untuk berbagai masalah global seperti perubahan iklim, ketimpangan pendidikan, kemiskinan, hingga pelayanan kesehatan yang belum merata.
Contohnya, AI digunakan untuk memprediksi bencana alam, mendeteksi penyakit lebih cepat, hingga mempercepat riset obat. Dalam dunia pendidikan, AI bisa menjadi tutor personal yang membantu siswa memahami materi dengan pendekatan individual.
Kelompok ini juga optimis terhadap konsep human-AI collaboration—gagasan bahwa manusia dan AI dapat bekerja berdampingan, saling melengkapi kemampuan satu sama lain. Bagi mereka, AI bukan alat pengganti, tetapi partner kreatif yang memperluas batas kemampuan manusia.
Mereka mendorong adopsi cepat dan inovasi terbuka. Namun, sikap terlalu optimis juga bisa membuat sebagian orang menyepelekan risiko. Karena itu, penting bagi AI enthusiasts untuk tetap realistis dan berimbang agar euforia tidak menutupi kebutuhan akan etika dan regulasi.
Transformasi Pendidikan: Mengubah Mindset, Bukan Sekadar Menguasai Teknologi
Najib Burhani menekankan bahwa dari keempat kelompok tersebut, tantangan terbesar sebenarnya bukan pada alatnya, tetapi pada cara berpikir manusia dalam menghadapinya. Dalam konteks pendidikan, ia mengaitkan empat respons terhadap AI dengan konsep pembelajaran transformatif (transformative learning)—yakni proses pembelajaran yang mengubah pola pikir siswa secara mendalam, bukan sekadar menambah pengetahuan teknis.
Transformasi itu terjadi melalui tiga aspek utama. Pertama, refleksi kritis (critical reflection), yaitu kemampuan untuk menilai secara sadar bagaimana AI memengaruhi cara kita berpikir, bekerja, dan belajar. Kedua, pendekatan holistik (holistic approach) yang tidak hanya fokus pada teknologi, tetapi juga nilai-nilai kemanusiaan dan kebebasan berpikir. Ketiga, hubungan guru dan murid (relationships) yang tetap harus menjadi inti pendidikan, agar AI tidak menjauhkan manusia dari interaksi sosial yang mendidik secara emosional.
Dengan pembelajaran yang transformatif, AI bukan lagi sekadar alat bantu digital, melainkan katalis untuk membentuk generasi yang kritis, kreatif, dan berempati. Pendidikan di era AI seharusnya tidak berhenti pada mengajarkan cara menggunakan teknologi, tetapi juga menanamkan mindset adaptif dan etis dalam menggunakannya.
Refleksi: Kamu Termasuk Kelompok yang Mana ?
Melalui pembagian empat kelompok ini, Ahmad Najib Burhani mengajak kita semua—pendidik, pelajar, profesional, hingga masyarakat umum—untuk bercermin. Apakah kita termasuk yang pesimis terhadap AI, skeptis tapi hati-hati, pragmatis yang fokus pada manfaat, atau antusias yang menyambut masa depan dengan penuh harapan?
Tak ada jawaban mutlak yang benar atau salah, karena setiap kelompok muncul dari pengalaman dan nilai yang berbeda. Namun yang paling penting adalah kesadaran reflektif: bagaimana kita menempatkan AI secara proporsional dalam kehidupan. AI bukan sekadar fenomena teknologi, tapi juga ujian kematangan manusia dalam mengelola ciptaannya sendiri.
Dunia sedang bergerak cepat menuju era di mana batas antara manusia dan mesin semakin kabur. Di tengah perubahan besar ini, yang kita butuhkan bukan hanya kecerdasan buatan, tapi juga kecerdasan kemanusiaan—kemampuan untuk berpikir kritis, beradaptasi, dan menjaga nilai-nilai moral di tengah derasnya arus inovasi.
Maka, sebelum kamu memutuskan menggunakan AI untuk belajar, bekerja, atau bahkan berkarya—tanyakan dulu pada diri sendiri: kamu ada di kelompok yang mana?