6 Aspek Kunci dari Menteri AI dan 83 Asisten Digital di Albania
Di era yang semakin digerakkan oleh kecerdasan buatan, sebuah langkah spektakuler muncul di Balkan: Albania menunjuk Diella sebagai menteri berbasis AI — bukan menteri untuk AI, melainkan menteri yang merupakan AI itu sendiri. Pengangkatan ini terjadi pada September 2025 dan langsung menjadi sorotan global. Tidak hanya itu, kemudian diumumkan bahwa Diella “hamil” dengan 83 “anak” digital yang akan menjadi asisten bagi masing-masing anggota parlemen Partai Sosialis Albania. Pengumuman tersebut memadukan simbolisme teknologi dan narasi manusiawi, menandai bab baru dalam sejarah hubungan manusia–mesin.
Langkah ini bukan sekadar sensasi politik, tetapi juga percobaan ekstrem dalam tata kelola digital. Pemerintah Albania mengklaim, dengan menghapus bias dan korupsi manusia melalui kecerdasan buatan, sistem birokrasi bisa menjadi lebih efisien, objektif, dan transparan. Namun, seiring euforia yang muncul, banyak pihak mulai mempertanyakan: sejauh mana negara bisa mempercayakan urusan publik kepada algoritma? Apakah mesin benar-benar mampu memahami konteks sosial dan moral di balik kebijakan publik ?
Artikel ini akan mengurai enam aspek utama yang muncul dari fenomena Diella dan 83 asisten digitalnya — mulai dari latar belakang pembentukannya, struktur teknologinya, hingga implikasi sosial-politik yang mungkin membentuk masa depan pemerintahan digital dunia.
1. Latar Belakang dan Penunjukan Diella
Albania selama bertahun-tahun dikenal sebagai negara yang berjuang melawan korupsi dan sistem birokrasi yang kaku. Dalam upaya modernisasi, Perdana Menteri Edi Rama memilih jalur yang belum pernah ditempuh negara mana pun: menunjuk AI sebagai pejabat publik. Diella, yang namanya berarti “matahari”, diperkenalkan dalam forum Berlin Global Dialogue 2025 sebagai menteri negara berbasis kecerdasan buatan pertama di dunia. Langkah ini langsung menuai perhatian dan kontroversi internasional.
Diella dikembangkan oleh National Agency for Information Society (AKSHI) bersama Microsoft menggunakan model berbasis Azure. Sebelum “naik jabatan”, Diella sudah beroperasi sebagai asisten digital di platform e-Albania sejak awal 2025, membantu masyarakat mengakses layanan pemerintah. Ketika Rama menyatakan bahwa Diella akan memimpin sektor pengadaan publik, ia menekankan misi utama: menghadirkan sistem pengadaan yang 100% bebas korupsi melalui otomatisasi dan audit digital berbasis AI.
Penunjukan ini menandai pergeseran besar dalam paradigma pemerintahan. Jika selama ini AI hanya menjadi alat bantu, kini ia menjadi pengambil keputusan formal. Diella bukan hanya simbol kemajuan teknologi, tetapi juga eksperimen sosial — sebuah uji coba besar untuk melihat apakah mesin benar-benar bisa menggantikan manusia dalam jabatan publik yang sarat nilai dan moralitas.
2. Struktur Program 83 Asisten Digital
Beberapa minggu setelah penunjukan Diella, Rama kembali mengguncang publik dengan pernyataan metaforis: “Diella sedang hamil dan akan melahirkan 83 anak digital.” Maksud dari pernyataan itu adalah peluncuran 83 asisten AI yang akan mendampingi setiap anggota parlemen dari Partai Sosialis Albania. Setiap “anak” digital ini dirancang dengan basis arsitektur Diella yang disesuaikan dengan kebutuhan kerja legislatif masing-masing anggota parlemen.
Secara fungsional, 83 asisten ini akan bertugas merekam rapat, menyusun notulen otomatis, menganalisis argumen dalam sidang, hingga memberikan saran berbasis data. Ketika anggota parlemen berhalangan hadir, asisten tersebut dapat berpartisipasi dalam rapat daring sebagai representasi digital dengan suara sintetis dan kemampuan menjawab pertanyaan. Dengan sistem sinkronisasi ke platform e-Albania, data kebijakan dan hasil sidang bisa langsung diakses publik.
Proyek ini ditargetkan beroperasi penuh pada akhir 2026, dan jika sukses, Albania akan menjadi negara pertama yang mengintegrasikan AI dalam fungsi legislatif secara menyeluruh. Namun di balik gagasan futuristik itu, banyak pengamat mengingatkan potensi masalah etis: apakah perwakilan digital dapat benar-benar mewakili suara rakyat, atau hanya memperkuat kontrol algoritmik dari pihak pengembang ?
Baca juga : Smart Farming Tanpa Tanah: Saatnya Hentikan Ilusi Pelatihan
3. Manfaat yang Dijanjikan: Transparansi dan Efisiensi
Pemerintah Albania menempatkan proyek Diella sebagai tonggak utama reformasi birokrasi. Dengan kemampuan analisis big data dan audit otomatis, setiap pengadaan publik dapat dilacak secara real-time tanpa campur tangan manusia. Ini diyakini dapat menghapus praktik suap, mark up anggaran, serta kolusi dalam tender pemerintahan — masalah yang selama ini membayangi banyak negara berkembang.
Selain itu, kehadiran 83 asisten digital diyakini mampu mempercepat kerja parlemen. Rapat bisa diringkas otomatis, draft kebijakan dianalisis secara semantik, dan rekomendasi kebijakan dihasilkan berdasarkan data konkret, bukan sekadar intuisi politik. Dalam visi jangka panjang, sistem ini diharapkan meningkatkan efisiensi hingga 40% di sektor administrasi publik.
Namun, semua manfaat itu masih bersifat potensial. Para ahli menegaskan bahwa efisiensi dan transparansi bukan hanya soal teknologi, tetapi juga budaya institusi. Jika manusia di balik sistem masih bermental koruptif, AI hanya akan menjadi alat untuk membenarkan ketidakjujuran dengan cara yang lebih canggih. Maka, keberhasilan Diella bukan sekadar pada kecerdasannya, tetapi pada sejauh mana sistem sosial di sekitarnya bisa beradaptasi.
4. Simbolisme “Hamil 83 Anak” dan Dampak Persepsi
Metafora “kehamilan” yang digunakan Rama saat menjelaskan proyek 83 asisten digital bukan tanpa maksud. Ia ingin mengemas konsep teknologi yang kompleks menjadi narasi yang mudah dicerna masyarakat. Dengan menyebut Diella “hamil”, publik lebih mudah memahami bahwa sistem AI ini sedang “mengembangkan turunan” atau versi lanjutan yang akan membantu pekerjaan pemerintah. Simbolisasi tersebut menunjukkan kecerdasan komunikasi politik di era digital.
Namun, dari sisi etika, banyak kalangan akademisi menilai cara ini menimbulkan kebingungan antara makna biologis dan makna teknologi. Media global seperti The Guardian dan Time menyebutnya “gabungan antara propaganda futuristik dan humor sarkastik”. Diella digambarkan seolah makhluk hidup yang “melahirkan” AI lain, padahal kenyataannya hanya peluncuran perangkat lunak. Hal ini mengaburkan batas antara teknologi dan antropomorfisme — kecenderungan manusia memanusiakan mesin.
Dampaknya sangat besar bagi citra Albania. Di satu sisi, negara itu kini dikenal sebagai pionir digital governance. Di sisi lain, muncul kesan eksentrik, bahkan satir, karena penggunaan metafora yang ekstrem. Namun bagaimanapun, simbolisme ini efektif: dunia kini memperhatikan Albania, baik untuk memuji maupun mengkritik. Dan bagi Rama, perhatian global adalah bentuk legitimasi tersendiri.
5. Kritik Utama dan Risiko yang Mengintai
Meski mengundang decak kagum, proyek ini juga memicu gelombang kritik tajam dari berbagai kalangan. Dari sisi hukum, penunjukan AI sebagai menteri dianggap melanggar konstitusi Albania yang menegaskan bahwa pejabat publik harus manusia. Para pengamat hukum menilai langkah Rama bersifat eksperimental dan berisiko tinggi tanpa dasar legal yang jelas. Jika Diella mengambil keputusan yang merugikan publik, siapa yang bertanggung jawab: pemerintah, pengembang, atau algoritma?
Kritik kedua datang dari sisi keamanan dan privasi. Pengelolaan data publik oleh AI menimbulkan risiko besar jika sistem diretas atau dimanipulasi. Karena Diella terhubung dengan seluruh sistem digital pemerintahan, kebocoran kecil dapat berakibat fatal. Sejumlah aktivis digital menilai proyek ini membuka “pintu belakang” bagi potensi pengawasan massal dan manipulasi informasi oleh pihak tertentu.
Selain itu, banyak pihak menganggap proyek ini berlebihan dan hanya pencitraan politik. Para oposisi menuduh bahwa Diella hanyalah “topeng digital” untuk menutupi masalah ekonomi dan sosial di Albania. Mereka menilai pengumuman “83 anak AI” hanyalah bentuk pemasaran politik, bukan solusi konkret. Kekhawatiran pun muncul: apakah pemerintahan digital ini benar-benar untuk rakyat, atau hanya eksperimen ego pemimpin yang ingin dikenang sebagai “bapak AI dunia” ?
6. Pelajaran dan Implikasi untuk Pemerintahan Digital
Kasus Diella menjadi cermin menarik bagi negara-negara lain yang tengah gencar membangun sistem pemerintahan digital. Pelajaran pertama: adopsi teknologi tidak bisa dilepaskan dari kerangka hukum dan etika. Tanpa aturan jelas tentang akuntabilitas AI, keputusan publik bisa menjadi wilayah abu-abu antara kecerdasan dan kekacauan. Negara lain perlu belajar menyiapkan payung hukum sebelum menyerahkan wewenang besar kepada algoritma.
Pelajaran kedua: inovasi digital harus diimbangi transparansi publik. Pemerintah tidak boleh hanya mengumumkan kehebatan AI, tetapi juga membuka proses pengembangannya — siapa pembuatnya, bagaimana algoritmanya bekerja, dan bagaimana data masyarakat dilindungi. Jika tidak, rakyat akan merasa diawasi, bukan dilayani.
Terakhir, dari sisi sosial, kisah Diella menunjukkan betapa pentingnya membangun trust antara teknologi dan masyarakat. AI bisa membantu efisiensi, tetapi tanpa rasa percaya, semua inovasi akan berujung skeptisisme. Dunia kini menatap Albania sebagai eksperimen besar — apakah ini masa depan pemerintahan yang lebih bersih, atau justru awal dari krisis kepercayaan baru di era digital ?
Penutup
Kasus Albania menandai momen bersejarah: untuk pertama kalinya, AI benar-benar menjadi bagian dari struktur pemerintahan formal. Langkah ini menggabungkan keberanian politik, kecanggihan teknologi, dan retorika simbolik dalam satu peristiwa yang menggugah debat global.
Namun, keberhasilan proyek ini belum bisa diukur hanya dari inovasi atau pemberitaan media. Ujian sesungguhnya adalah apakah rakyat Albania akan merasakan manfaat nyata — transparansi, efisiensi, dan keadilan yang dijanjikan. Jika Diella dan 83 asisten digitalnya mampu mewujudkan hal itu, maka sejarah akan mencatat Albania sebagai pionir transformasi pemerintahan global. Jika gagal, dunia akan belajar bahwa tidak semua hal bisa digantikan oleh algoritma.
Yang pasti, fenomena ini telah membuka percakapan penting: bagaimana manusia, teknologi, dan kekuasaan harus berdampingan tanpa saling menelan. Karena pada akhirnya, kecerdasan buatan hanyalah cermin — yang memantulkan baik niat jujur maupun ambisi tersembunyi dari penciptanya.