Perkembangan Artificial Intelligence (AI) dalam beberapa tahun terakhir melaju sangat cepat dan mulai menyentuh hampir semua aspek kehidupan, mulai dari dunia kerja, pendidikan, hingga aktivitas sehari-hari. AI tidak lagi sekadar konsep futuristik, melainkan sudah hadir dalam bentuk nyata seperti chatbot, sistem rekomendasi, analisis data otomatis, hingga pengambilan keputusan berbasis algoritma. Di tengah derasnya arus teknologi ini, muncul pertanyaan besar: siapa sebenarnya yang paling perlu belajar AI lebih dulu?
Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Wamendiktisaintek), Stella Christie, memberikan pandangan yang cukup berbeda dari arus umum. Alih-alih mendorong semua lapisan usia untuk buru-buru belajar AI, ia justru menekankan adanya perbedaan kebutuhan antara orang dewasa dan anak-anak. Pandangan ini menarik karena menempatkan AI bukan hanya sebagai alat teknis, tetapi juga sebagai faktor yang membentuk ulang cara manusia belajar, bekerja, dan berpikir.
Berikut ini adalah penjabaran mendalam dalam bentuk listicle mengenai siapa yang sebaiknya memprioritaskan belajar AI, serta bagaimana seharusnya pendidikan menempatkan teknologi ini secara bijak.
1. Orang Dewasa di Atas 30 Tahun Berada di Garis Depan Risiko Disrupsi AI
Menurut Stella Christie, kelompok usia dewasa, khususnya mereka yang berusia di atas 30 tahun dan sudah aktif bekerja, adalah pihak yang paling mendesak untuk belajar AI. Alasannya sederhana namun krusial: dunia kerja berubah jauh lebih cepat dibandingkan sistem pendidikan formal. Banyak profesi yang dulunya aman dan stabil kini mulai terancam oleh otomatisasi dan kecerdasan buatan.
AI tidak hanya menggantikan pekerjaan manual, tetapi juga pekerjaan administratif, analitis, bahkan kreatif. Orang dewasa yang tidak memahami cara kerja AI berisiko tertinggal, bukan karena mereka tidak kompeten, melainkan karena tidak mampu beradaptasi dengan alat baru yang digunakan industri. Dalam konteks ini, belajar AI bukan berarti harus menjadi programmer atau data scientist, tetapi memahami bagaimana AI bekerja, di mana batasannya, dan bagaimana memanfaatkannya untuk meningkatkan produktivitas.
Stella menegaskan bahwa AI harus dilihat sebagai alat pendukung, bukan musuh. Namun, alat ini hanya bermanfaat bagi mereka yang tahu cara menggunakannya. Orang dewasa yang memahami AI akan lebih siap berkolaborasi dengan teknologi, bukan tersingkir olehnya.
Baca juga : Panduan Spesifikasi PC Gaming ala Microsoft: Pilih Performa Sesuai Kebutuhan, Bukan Sekadar Mahal
2. Belajar AI untuk Orang Dewasa adalah Soal Bertahan, Bukan Sekadar Tren
Banyak orang dewasa tertarik belajar AI karena ikut tren atau takut ketinggalan zaman. Namun menurut Stella, motivasi yang lebih tepat adalah soal keberlangsungan karier. AI akan menjadi standar baru di berbagai bidang, sama seperti komputer dan internet pada dekade sebelumnya.
Jika seseorang tidak memahami AI, ia berpotensi menjadi pengguna pasif yang hanya mengikuti sistem tanpa benar-benar mengerti implikasinya. Hal ini berbahaya, terutama dalam pekerjaan yang melibatkan pengambilan keputusan penting. Dengan pemahaman AI, orang dewasa bisa bersikap kritis, memahami risiko bias algoritma, serta tidak sepenuhnya menyerahkan penilaian pada mesin.
Di titik ini, belajar AI menjadi bentuk literasi baru. Sama seperti membaca dan menulis, pemahaman AI menjadi kemampuan dasar agar seseorang tetap relevan dan berdaya di dunia kerja modern.
3. Anak-Anak Tidak Perlu Diburu-Buru Menjadi “Manusia AI”
Berbeda dengan orang dewasa, Stella Christie menilai anak-anak tidak seharusnya dibebani tuntutan untuk cepat belajar AI secara teknis. Ia menolak gagasan bahwa anak harus dipersiapkan agar “seperti AI” atau mampu melakukan hal-hal yang justru menjadi keunggulan mesin.
Jika anak hanya diajarkan kemampuan teknis seperti menghafal kode atau mengikuti pola algoritma, maka mereka akan kalah cepat dan kalah akurat dibandingkan mesin. AI akan selalu lebih unggul dalam hal tersebut. Oleh karena itu, mendidik anak agar meniru AI justru merupakan pendekatan yang keliru.
Stella menekankan bahwa pendidikan anak seharusnya berfokus pada pengembangan kemampuan yang belum dan mungkin tidak akan bisa ditiru AI sepenuhnya. Inilah titik pembeda antara manusia dan mesin yang harus dijaga sejak dini.
4. Keunggulan Manusia: Belajar, Berpikir, dan Menggeneralisasi
Salah satu poin terpenting dari pandangan Stella adalah soal kemampuan manusia untuk belajar secara efisien dan menggeneralisasi pengetahuan. Manusia mampu memahami konteks, menarik makna, dan menghubungkan satu masalah dengan masalah lain yang tampak berbeda di permukaan.
Kemampuan menggeneralisasi inilah yang menjadi inti kecerdasan manusia. Anak-anak seharusnya dilatih untuk memahami pola, bukan sekadar mengikuti instruksi. Dengan begitu, mereka mampu memecahkan masalah baru yang belum pernah mereka temui sebelumnya.
AI bekerja berdasarkan data masa lalu, sementara manusia memiliki intuisi, empati, dan kemampuan berpikir abstrak. Pendidikan anak yang baik adalah pendidikan yang mengasah kemampuan tersebut, bukan sekadar mengejar keterampilan teknis yang cepat usang.
5. Coding untuk Anak Bukan Soal Bahasa Pemrograman, Tapi Cara Berpikir
Stella Christie tidak menolak pengajaran coding untuk anak, namun ia menekankan pendekatan yang berbeda. Coding seharusnya digunakan sebagai alat untuk melatih struktur berpikir, bukan tujuan akhir. Anak tidak harus mahir menulis ribuan baris kode, tetapi perlu memahami bagaimana memecah masalah menjadi langkah-langkah logis.
Dengan pendekatan ini, coding menjadi sarana untuk melatih problem solving, logika, dan kreativitas. Anak belajar bahwa satu masalah bisa diselesaikan dengan berbagai cara, dan satu solusi bisa diterapkan pada konteks yang berbeda.
Pendekatan ini membuat anak lebih adaptif di masa depan, terlepas dari teknologi apa pun yang akan muncul. Mereka tidak hanya siap menghadapi AI, tetapi juga teknologi lain yang belum ada saat ini.
6. Ketergantungan Berlebihan pada AI Justru Bisa Menurunkan Kualitas Berpikir
Untuk memperkuat argumennya, Stella mengutip sebuah studi dari MIT yang membagi mahasiswa ke dalam tiga kelompok: pengguna AI (LLM), pengguna mesin pencari, dan pengguna kemampuan otak sendiri. Hasilnya cukup mengejutkan, karena kelompok yang terlalu bergantung pada AI justru menunjukkan performa yang lebih buruk dalam pemahaman mendalam.
Aspek neural, linguistik, dan perilaku mereka tidak berkembang sebaik kelompok yang berpikir mandiri. Ini menunjukkan bahwa AI, jika digunakan tanpa kontrol, bisa membuat manusia menjadi pasif dan kehilangan kemampuan berpikir kritis.
Temuan ini menjadi peringatan penting, terutama dalam dunia pendidikan. AI seharusnya menjadi alat bantu, bukan pengganti proses berpikir manusia. Jika digunakan secara tidak bijak, AI justru dapat melemahkan kemampuan kognitif.
7. Pendidikan Masa Depan Harus Menjaga Keseimbangan antara Teknologi dan Humanisme
Dari seluruh pandangan Stella Christie, satu benang merah yang jelas adalah pentingnya keseimbangan. Orang dewasa perlu segera belajar AI agar tidak tertinggal, sementara anak-anak perlu dilindungi dari pendekatan pendidikan yang terlalu teknokratis.
Pendidikan masa depan tidak bisa menolak AI, tetapi juga tidak boleh menyerahkan segalanya pada mesin. Nilai-nilai humanis seperti empati, kreativitas, etika, dan kemampuan berpikir kritis harus tetap menjadi fondasi utama.
Dengan pendekatan ini, manusia tidak akan kalah oleh AI, melainkan tumbuh berdampingan dengannya. Orang dewasa menjadi pengguna AI yang cerdas, sementara anak-anak tumbuh sebagai manusia utuh yang mampu menghadapi dunia yang terus berubah.
Kesimpulan: AI untuk Dewasa, Logika untuk Anak, Masa Depan untuk Manusia
Pandangan Wamen Stella Christie memberikan perspektif segar dalam diskusi AI dan pendidikan. Belajar AI memang penting, tetapi tidak untuk semua orang dengan cara yang sama. Orang dewasa perlu beradaptasi agar tetap relevan, sementara anak-anak perlu dibekali kemampuan berpikir yang mendalam dan fleksibel.
AI adalah alat, bukan tujuan. Masa depan bukan milik mesin semata, melainkan milik manusia yang tahu bagaimana menggunakan teknologi tanpa kehilangan jati dirinya. Dengan pendekatan yang tepat, AI tidak akan menggantikan manusia, tetapi memperkuat peran manusia itu sendiri.