Beberapa tahun lalu, kata metaverse terdengar di mana-mana. Dari presentasi perusahaan teknologi raksasa, seminar startup, konten YouTube futuristik, sampai obrolan warung kopi versi digital. Metaverse digadang-gadang sebagai “masa depan internet”, tempat manusia akan bekerja, bermain, belanja, bahkan hidup dalam dunia virtual 3D.
Namun hari ini, gaungnya terasa meredup. Tidak lagi jadi topik utama, jarang masuk trending, dan mulai ditinggalkan oleh banyak perusahaan yang dulu begitu getol mempromosikannya. Pertanyaannya sederhana tapi penting: kenapa metaverse sekarang sudah jarang terdengar?
Berikut ini adalah penjelasan lengkapnya dalam bentuk listicle—bukan untuk mengubur metaverse, tapi untuk memahami kenapa hype-nya runtuh lebih cepat dari yang dibayangkan.
1. Hype Terlalu Tinggi, Realita Terlalu Rendah
Metaverse lahir dengan ekspektasi yang kelewat tinggi. Banyak orang membayangkan dunia virtual super-realistis, tanpa lag, penuh interaksi sosial alami, dan bisa diakses siapa saja. Masalahnya, teknologi saat itu belum siap.
Ketika orang akhirnya mencoba metaverse, yang ditemui justru avatar kaku, dunia kosong, grafis biasa saja, dan pengalaman yang terasa seperti game setengah jadi. Jurang antara janji dan kenyataan terlalu lebar. Akibatnya, publik cepat kecewa.
Hype memang bisa menarik perhatian, tapi realita yang mengecewakan bisa mematikan minat dalam sekejap.
2. Perangkatnya Mahal dan Tidak Ramah Semua Orang
Salah satu penghalang terbesar metaverse adalah hardware. Untuk merasakan pengalaman “ideal”, pengguna butuh perangkat VR atau AR yang harganya tidak murah. Belum lagi spesifikasi komputer atau koneksi internet yang mumpuni.
Bagi mayoritas orang, memakai headset besar di kepala selama berjam-jam bukan sesuatu yang nyaman. Banyak yang pusing, mual, atau cepat lelah. Alhasil, metaverse terasa eksklusif dan tidak inklusif.
Teknologi yang ingin menjadi masa depan seharusnya memudahkan, bukan malah menyulitkan.
Baca juga : 3 Cara Mudah Mengecek Keaslian Sertifikat Tanah Secara Online Tanpa ke Kantor BPN
3. Tidak Ada Alasan Kuat untuk “Pindah ke Sana”
Masalah besar metaverse adalah satu pertanyaan sederhana: “Kenapa gue harus pakai ini?”
Bekerja? Video call sudah cukup. Main game? Game konvensional jauh lebih seru. Ngobrol? Media sosial dan chat lebih praktis. Belanja? Marketplace 2D lebih cepat dan efisien.
Metaverse gagal menawarkan killer feature yang benar-benar membuat orang rela pindah dari platform yang sudah nyaman. Tanpa kebutuhan nyata, metaverse hanya jadi tempat nongkrong kosong.
4. Dunia Virtualnya Terasa Sepi dan Tidak Hidup
Ironisnya, konsep metaverse adalah dunia sosial, tapi kenyataannya banyak platform metaverse terasa sunyi. Avatar berjalan tanpa arah, ruang virtual luas tapi kosong, interaksi minim dan canggung.
Interaksi sosial yang terasa alami di dunia nyata sulit ditiru di dunia virtual. Bahasa tubuh, ekspresi wajah, intonasi suara—semua terasa terbatas. Akhirnya, banyak orang merasa lebih “sendiri” di metaverse daripada di media sosial biasa.
Dunia virtual tanpa kehidupan sosial yang kuat hanya akan jadi museum digital.
5. Perusahaan Besar Mulai Mengerem Investasi
Saat euforia awal mereda, perusahaan teknologi mulai melihat angka nyata: jumlah pengguna stagnan, biaya operasional tinggi, dan ROI tidak jelas. Banyak proyek metaverse yang tadinya diumumkan besar-besaran, kini dipangkas atau dihentikan diam-diam.
Fokus perusahaan pun bergeser ke teknologi lain yang lebih menjanjikan secara bisnis, seperti kecerdasan buatan, komputasi awan, dan otomasi. Metaverse bukan lagi prioritas utama.
Ketika raksasa teknologi saja mulai ragu, wajar jika gaung metaverse ikut meredup.
6. AI Datang Sebagai “Bintang Baru”
Saat metaverse mulai kehilangan momentum, AI generatif datang dengan ledakan yang jauh lebih nyata. AI langsung terasa manfaatnya: membantu kerja, menulis, desain, coding, hingga analisis data.
Berbeda dengan metaverse yang butuh adaptasi besar, AI bisa langsung dipakai di kehidupan sehari-hari tanpa perangkat khusus. Publik dan investor pun mengalihkan perhatian ke teknologi yang lebih “berguna sekarang”, bukan sekadar janji masa depan.
Dalam dunia teknologi, perhatian adalah mata uang. Dan metaverse kalah saing.
7. Identitas Digital dan Privasi Masih Abu-abu
Metaverse membawa isu serius soal data pribadi. Pergerakan tubuh, ekspresi wajah, suara, bahkan kebiasaan pengguna bisa terekam. Namun, belum ada kejelasan soal siapa yang mengelola data ini dan bagaimana keamanannya.
Banyak orang mulai sadar bahwa dunia digital tidak selalu ramah privasi. Ketidakjelasan regulasi membuat metaverse terasa berisiko, terutama jika dikendalikan oleh korporasi besar.
Tanpa rasa aman, sulit bagi teknologi sosial untuk berkembang luas.
8. Konsepnya Terlalu Kompleks untuk Pasar Umum
Bagi banyak orang, metaverse adalah konsep yang membingungkan. Apa bedanya dengan game online? Apakah ini media sosial? Dunia kerja? Atau cuma tren?
Teknologi yang sukses biasanya mudah dijelaskan dan langsung terasa manfaatnya. Metaverse justru membutuhkan penjelasan panjang, istilah teknis, dan tutorial rumit.
Jika orang harus berpikir terlalu keras untuk memahami sebuah produk, biasanya mereka memilih untuk tidak peduli.
9. Budaya Digital Bergerak ke Arah yang Lebih Praktis
Tren digital belakangan ini mengarah ke hal-hal yang cepat, ringan, dan instan. Konten pendek, aplikasi simpel, dan pengalaman yang tidak ribet lebih disukai.
Metaverse sebaliknya: berat, lambat, dan butuh waktu. Dalam budaya serba cepat, dunia virtual 3D terasa seperti langkah mundur, bukan maju.
Bukan berarti metaverse buruk, tapi ia tidak sejalan dengan ritme hidup digital saat ini.
10. Metaverse Bukan Mati, Tapi Masuk Masa Senyap
Penting untuk dicatat: metaverse tidak benar-benar mati. Ia hanya keluar dari panggung utama. Banyak teknologi besar justru berkembang dalam fase senyap, jauh dari sorotan media.
Metaverse kemungkinan akan kembali dalam bentuk yang lebih matang, lebih sederhana, dan lebih terintegrasi dengan teknologi lain seperti AI, AR, dan realitas campuran.
Sejarah teknologi menunjukkan bahwa yang bertahan bukan yang paling heboh, tapi yang paling relevan.
11. Metaverse Terjebak di Narasi Korporat, Bukan Kebutuhan Manusia
Salah satu alasan mengapa metaverse cepat meredup adalah karena sejak awal narasinya terlalu didorong oleh kepentingan korporat, bukan kebutuhan manusia sehari-hari. Metaverse lebih sering dipresentasikan sebagai “platform masa depan” versi perusahaan besar: ruang meeting virtual, kantor digital, mall virtual, dan aset digital bernilai spekulatif. Semua terdengar megah, tapi terasa jauh dari realitas hidup kebanyakan orang.
Alih-alih lahir dari masalah nyata yang ingin diselesaikan, metaverse justru dipaksakan sebagai solusi yang mencari-cari masalah. Banyak pengguna merasa mereka hanya menjadi “penghuni” dalam ekosistem yang dikontrol penuh oleh perusahaan, bukan pencipta atau pemilik ruang digital itu sendiri. Ketika teknologi terasa seperti alat dominasi ekonomi, bukan sarana ekspresi atau kebebasan, antusiasme publik pun menurun. Metaverse kehilangan sentuhan manusia, dan itu membuatnya sulit dicintai.
Penutup: Dari Sensasi ke Seleksi Alam Teknologi
Metaverse jarang terdengar bukan karena gagal total, melainkan karena sedang melalui seleksi alam teknologi. Hype sudah lewat, kini tersisa pertanyaan mendasar: apakah ia benar-benar dibutuhkan manusia?
Teknologi tidak hidup dari janji, tapi dari kegunaan. Jika suatu hari metaverse mampu menjawab kebutuhan nyata, ia akan kembali—mungkin dengan nama berbeda, bentuk berbeda, dan pendekatan yang lebih manusiawi.
Untuk sekarang, metaverse sedang belajar satu pelajaran penting:
masa depan tidak selalu datang secepat yang kita bayangkan.