Pernah nggak sih lo merasa sosial media kayak bisa baca pikiran? Baru aja ngobrolin soal kopi susu kekinian, eh nggak lama muncul reels tentang kopi atau iklan biji kopi premium di feed. Rasanya agak creepy, tapi di sisi lain juga bikin nyaman karena kontennya pas banget sama yang kita pikirin. Fenomena ini sering bikin orang mikir kalau HP “nyadap” percakapan kita. Padahal sebenarnya bukan begitu. Sosmed punya sistem canggih yang namanya algoritma, yang memang ditugaskan buat menebak-nebak apa yang lagi menarik buat lo.
Algoritma ini ibarat pelayan pribadi yang hafal semua selera lo, bahkan sebelum lo sendiri sadar. Kalau lo sering nge-scroll video hewan, besok-besok feed lo bisa jadi penuh kucing, anjing, hamster, atau bahkan iguana yang joget-joget. Kedengarannya ajaib, tapi ini kerjaan teknologi, bukan sihir.
Apa Itu Algoritma ?
Kalau dijelasin singkat, algoritma adalah serangkaian aturan atau instruksi yang diprogram buat mengambil keputusan. Di dunia sosmed, tugas utamanya adalah memutuskan konten apa yang bakal muncul di layar lo, dalam urutan kayak gimana, dan seberapa sering lo akan melihatnya. Jadi, algoritma ini kayak kurator pribadi yang sibuk memilah jutaan postingan setiap detik. Ia mikir keras buat milih konten mana yang kira-kira bikin lo betah buka aplikasi lebih lama.
Bedanya dengan kurator manusia, algoritma nggak punya insting atau perasaan. Yang dia punya hanyalah data. Dan data ini datang dari semua aktivitas kecil lo di aplikasi: klik, like, komen, share, durasi nonton video, sampai akun siapa aja yang sering lo kepoin. Semuanya diolah jadi angka-angka yang kemudian membentuk prediksi.
Dari Like sampai Scroll, Semua Dipantau
Setiap aksi lo di aplikasi, sekecil apapun, punya arti besar buat algoritma. Saat lo nge-like foto temen, algoritma mencatat itu sebagai tanda lo peduli. Kalau lo nonton reels sampai habis bahkan mengulang, sistem menganggap konten kayak gitu punya nilai tinggi buat lo. Kalau lo cuma nonton dua detik terus geser, berarti topik itu kurang menarik.
Selain interaksi langsung, algoritma juga memperhitungkan kebiasaan lo. Misalnya, jam berapa lo paling aktif buka Instagram atau TikTok. Kalau lo sering aktif malam-malam, aplikasi bakal siapin konten segar buat nemenin lo begadang. Lokasi pun nggak kalah penting. Orang di Jakarta mungkin lebih sering disuguhi info konser musik, sementara di kota kecil bisa lebih banyak muncul konten lokal. Semua sinyal ini dikumpulin jadi bahan bakar buat mesin prediksi yang tujuannya bikin lo ngerasa, “wah, kok pas banget ya isinya?”
Kenapa Feed Kita Bisa Berbeda ?
Pernah nggak lo buka TikTok bareng temen, terus kaget karena isi feed kalian beda banget? Lo mungkin ketemu banyak video resep masakan, sementara dia penuh dengan gosip artis atau highlight sepak bola. Itu karena algoritma bekerja personalisasi. Ia bikin “versi dunia” masing-masing pengguna berdasarkan apa yang mereka sering lakukan.
Dulu, timeline sosmed ditampilkan secara kronologis. Siapa posting duluan, itu yang muncul di atas. Sekarang udah nggak begitu lagi. Sistem ranking dipakai untuk menentukan prioritas. Semua postingan dimasukin ke “kolam besar”, lalu algoritma ngasih skor berdasarkan seberapa besar kemungkinan lo tertarik. Postingan dengan skor tertinggi bakal muncul lebih dulu. Hasilnya, feed tiap orang jadi kayak sidik jari: unik, nggak ada yang sama persis.
Baca juga : Mengapa Memory Integrity Enforcement Bisa Jadi Game Changer Dunia Kripto
Sisi Positif Algoritma
Kalau dipikir-pikir, algoritma punya banyak manfaat. Pertama, lo nggak perlu repot nyari konten secara manual. Sosmed udah otomatis ngasih apa yang kira-kira sesuai minat lo. Jadi lebih hemat waktu dan bikin pengalaman scrolling terasa lancar.
Kedua, algoritma bisa jadi pintu buat nemuin hal-hal baru. Misalnya, lo awalnya cuma suka liat konten kopi. Lama-lama algoritma bisa ngenalin lo ke dunia teh premium atau peralatan brewing. Dari sana, bisa aja lo nemu hobi baru.
Ketiga, algoritma bikin konten kecil atau kreator baru punya kesempatan dikenal. Dulu, kalau nggak terkenal susah naik. Sekarang, asal kontennya bikin orang betah, algoritma bisa ngedorong konten itu ke lebih banyak layar, bahkan sampai viral.
Efek Samping yang Bikin Waspada
Tapi, seperti banyak hal dalam hidup, ada juga sisi gelapnya. Salah satunya adalah filter bubble, yaitu kondisi ketika lo cuma terpapar konten yang mirip-mirip sama minat lo sebelumnya. Akhirnya, lo bisa jadi ngerasa dunia itu sempit banget. Kalau lo suka konten politik tertentu, misalnya, lama-lama feed lo cuma isinya pendapat sejalan. Itulah yang disebut echo chamber—kayak ruangan gema yang cuma memantulkan suara lo sendiri.
Selain itu, algoritma sengaja didesain bikin lo betah. Mereka tahu konten mana yang bikin lo senyum, kesel, atau penasaran. Perpaduan emosi itu bikin lo susah berhenti scroll. Semakin lama lo bertahan, semakin banyak iklan bisa ditampilkan, dan semakin untung juga platformnya. Nggak heran kalau banyak orang jadi kecanduan sosmed.
Ada pula isu privasi. Meskipun data yang dikumpulkan biasanya sesuai kebijakan yang lo setujui saat daftar akun, tetap aja ada rasa nggak nyaman karena hampir semua aktivitas terekam. Rasanya kayak punya bayangan yang selalu ngikutin ke mana pun lo pergi.
Bisa Nggak Kita Ngakalin Algoritma ?
Kabar baiknya, ada cara buat ngatur ulang algoritma biar nggak terlalu ngontrol lo. Triknya simpel tapi butuh konsistensi. Pertama, lebih sadar saat berinteraksi. Kalau lo nggak bener-bener suka, jangan asal nge-like atau nonton sampai habis. Itu sinyal kuat yang bakal bikin algoritma salah paham.
Kedua, manfaatin fitur hide atau “not interested”. Banyak aplikasi kasih pilihan buat menyingkirkan konten yang nggak sesuai minat. Semakin sering lo pakai, semakin cepat feed lo jadi lebih sehat.
Ketiga, aktif cari hal baru. Kalau lo bosan terus-terusan disuguhi gosip, coba follow akun edukasi, sains, atau olahraga. Lama-lama algoritma bakal nangkep minat baru itu dan ngasih rekomendasi segar.
Terakhir, atur waktu main sosmed. Ingat, algoritma jago banget bikin lo betah. Jadi kalau nggak ada kontrol, waktu berjam-jam bisa hilang begitu aja. Gunakan fitur pengingat waktu atau set alarm sendiri biar tetap waras.
Contoh Nyata dari TikTok dan Instagram
Biar lebih jelas, kita lihat contoh. TikTok dikenal punya algoritma super agresif yang bikin pengguna betah. Mereka nggak cuma melihat apa yang lo tonton sampai habis, tapi juga apakah lo berhenti di video itu meski cuma dua detik. Kalau banyak orang berhenti, sistem langsung naikin performa video tersebut. Makanya, video receh yang simpel pun bisa viral.
Instagram agak beda. Mereka gabungin interaksi personal (like, komen, share) dengan sinyal sosial (seberapa populer postingan itu di kalangan teman-teman lo). Jadi, kadang lo ngeliat postingan lama karena banyak temen lo yang nge-like baru-baru ini. Bedanya lagi, Instagram lebih condong ke menjaga interaksi antar-teman, sementara TikTok lebih murni ke “hiburan sesuai minat”.
Masa Depan Algoritma Sosial Media
Ke depan, algoritma bakal makin canggih seiring berkembangnya AI. Bayangin, mereka bukan cuma bisa membaca klik atau durasi nonton, tapi juga ekspresi wajah lewat kamera AR/VR, intonasi suara lo saat rekam konten, bahkan mood lo waktu scrolling. Teknologi ini bisa bikin pengalaman makin personal, seolah-olah aplikasi benar-benar ngerti lo.
Tapi tentu aja, isu privasi makin besar. Apakah kita nyaman kalau ekspresi wajah atau emosi kita dianalisis buat kepentingan iklan? Di sinilah regulasi punya peran penting. Negara-negara udah mulai bikin aturan ketat soal penggunaan data pribadi. Ke depan, mungkin akan ada batas jelas antara “personalisasi yang berguna” dan “pengawasan yang berlebihan”.
Penutup: Sadar Itu Penting
Pada akhirnya, algoritma sosial media adalah dalang di balik layar yang ngatur semua tontonan kita. Ia belajar dari kebiasaan kecil, memberi skor ke setiap konten, lalu menampilkan versi dunia yang sudah difilter. Ada sisi positif karena konten jadi relevan dan hiburan terasa endless. Tapi ada juga sisi gelap: lo bisa terjebak bubble, kecanduan, atau khawatir privasi.
Karena itu, kesadaran jadi kunci. Lo perlu ingat kalau apa yang lo lihat di sosmed bukan representasi dunia nyata sepenuhnya, melainkan dunia yang sudah dipoles sesuai prediksi algoritma. Kalau lo bisa lebih bijak—misalnya ngatur interaksi, pilih konten yang sehat, dan kontrol waktu scrolling—algoritma justru bisa jadi alat bantu, bukan jebakan. Dengan begitu, lo bukan cuma jadi korban endless scroll, tapi bisa pakai sosmed buat hal-hal yang lebih bermanfaat, entah itu belajar, cari inspirasi, atau sekadar hiburan yang sehat.