Kenapa Gen Boomer Sering Tertipu Konten Hoaks dari Teknologi AI ?
Dalam beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan fenomena aneh tapi nyata: semakin banyak orang tua—khususnya dari generasi Baby Boomer—yang menjadi korban berita palsu, video deepfake, atau konten manipulatif berbasis kecerdasan buatan (Artificial Intelligence / AI). Media sosial dipenuhi dengan tangkapan layar percakapan WhatsApp yang berisi klaim absurd, video tokoh terkenal yang ternyata palsu, atau pesan berantai yang menyebarkan ketakutan tanpa dasar.
Fenomena ini bukan hanya soal “kurang melek teknologi”, tapi lebih dalam dari itu. Generasi Boomer lahir dan tumbuh dalam dunia yang jauh berbeda dari sekarang—zaman di mana media bisa dipercaya, suara di radio berasal dari orang sungguhan, dan gambar di TV hampir selalu mencerminkan realitas. Maka ketika dunia digital modern datang membawa ilusi visual dan suara sintetis, banyak dari mereka sulit membedakan mana yang nyata dan mana yang direkayasa.
Artikel ini akan membahas secara argumentatif mengapa generasi Boomer rentan tertipu oleh konten hoaks berbasis AI, serta apa yang bisa kita pelajari dari fenomena sosial ini agar generasi berikutnya tak mengulang kesalahan yang sama.
1. Generasi Boomer Dibesarkan di Era Kepercayaan terhadap Media
Pada masa 1960–1980-an, media massa seperti surat kabar, radio, dan televisi adalah sumber utama informasi. Waktu itu, berita melewati proses panjang: disunting, diverifikasi, lalu disiarkan oleh jurnalis profesional. Hasilnya, generasi Boomer tumbuh dengan budaya mempercayai media.
Ketika media sosial muncul, kebiasaan itu terbawa. Mereka cenderung mempercayai apa yang mereka lihat di layar tanpa banyak skeptisisme. Jadi, ketika muncul video tokoh politik yang tampak berbicara dengan emosi atau gambar yang menunjukkan “kejadian penting”, mereka refleks mempercayainya, karena mindset lamanya berkata: “Kalau sudah ada di layar, berarti benar.”
Perubahan paradigma ini tidak mudah. Dunia modern memaksa orang untuk tidak lagi percaya pada “apa yang dilihat”, tetapi untuk selalu memeriksa sumber dan konteks. Sebuah tuntutan yang sulit bagi mereka yang hidup di era sebelum informasi digital tak terbatas.
2. Literasi Digital yang Rendah Dibanding Generasi Muda
Generasi Boomer bukan tidak bisa menggunakan teknologi—banyak yang bisa mengoperasikan smartphone dan media sosial. Namun, kemampuan menggunakan teknologi berbeda dengan memahami cara kerjanya.
Sebagian besar Boomer tidak tahu bagaimana algoritma bekerja, bagaimana clickbait dibuat, atau bagaimana teknologi AI dapat meniru wajah dan suara dengan sangat akurat. Mereka hanya melihat hasil akhirnya, bukan proses di baliknya.
Misalnya, ketika mereka menerima video seseorang yang “mengaku dosa besar” atau “menyampaikan pesan terakhir”, mereka jarang berpikir bahwa video itu bisa saja hasil deepfake atau manipulasi suara AI. Mereka tidak tahu bahwa bahkan video bisa dibuat tanpa kamera, cukup dengan teks dan foto wajah target.
Kurangnya digital literacy membuat mereka tak punya “radar curiga” terhadap konten manipulatif. Bagi generasi muda, ini mungkin terasa jelas. Tapi bagi Boomer, teknologi AI terasa seperti “sihir modern” yang sulit dijelaskan.
3. Kecepatan Informasi Mengalahkan Kebiasaan Verifikasi
Di masa muda Boomer, berita datang pelan—kadang butuh satu hari sampai koran pagi berikutnya terbit. Sekarang, informasi datang setiap detik. Grup WhatsApp keluarga bisa berubah jadi “redaksi kilat” yang membagikan berita tanpa jeda, tanpa sumber, tanpa verifikasi.
Masalahnya, kecepatan ini tidak diimbangi dengan kemampuan untuk pause dan berpikir kritis. Banyak Boomer merasa perlu membagikan informasi segera “biar orang lain tahu juga.” Dalam pikiran mereka, berbagi berarti peduli. Namun dalam praktiknya, mereka justru mempercepat penyebaran hoaks.
AI memperparah hal ini. Sekarang hoaks tidak lagi berupa teks panjang yang membosankan, tetapi video meyakinkan dengan wajah, ekspresi, dan suara yang nyaris nyata. Emosi pun terpicu lebih cepat. Sebelum logika bekerja, jari sudah menekan tombol “forward”.
4. Rasa Nostalgia dan Bias Konfirmasi yang Kuat
Banyak konten hoaks berbasis AI yang menargetkan sisi emosional Boomer: nostalgia masa lalu, ketidakpercayaan terhadap dunia modern, dan kerinduan terhadap masa di mana segala hal terasa lebih “sederhana dan benar”.
Contohnya, video palsu yang memperlihatkan tokoh lama “bangkit lagi” dan memberi pesan moral, atau gambar AI yang menggambarkan “kehidupan ideal zaman dulu.” Konten seperti ini terasa nyaman bagi Boomer karena sesuai dengan pandangan mereka tentang dunia yang berubah terlalu cepat.
Selain itu, mereka juga cenderung memiliki bias konfirmasi: percaya pada hal-hal yang memperkuat pandangan mereka sendiri. Jadi, ketika muncul berita palsu yang sejalan dengan keyakinan politik atau keagamaan mereka, mereka akan lebih mudah percaya.
AI, dengan kemampuannya menyesuaikan pesan untuk tiap kelompok, memanfaatkan kelemahan psikologis ini dengan sangat efisien.
Baca Juga : Tanda Video yang Kamu Lihat Itu Deepfake dan Bisa Modus Jadi Penipuan
5. Keterasingan Teknologis dan Ketergantungan Sosial
Bagi sebagian Boomer, teknologi modern terasa membingungkan, menakutkan, bahkan mengancam. Banyak dari mereka merasa tertinggal dan akhirnya bergantung pada anak, cucu, atau teman sebaya untuk membantu mereka “mengikuti zaman.”
Ironisnya, ketergantungan ini justru membuat mereka lebih mudah dimanipulasi. Ketika seseorang yang mereka percaya mengirimkan video atau pesan, mereka jarang mempertanyakan kebenarannya. Kalimat seperti “Katanya ini dari grup penting” atau “Tadi ada di berita Facebook” sering dianggap cukup sebagai bukti.
AI menambah lapisan baru pada masalah ini. Dengan wajah dan suara yang bisa ditiru secara realistis, penipu dapat berpura-pura menjadi orang yang mereka kenal. Banyak kasus di mana Boomer tertipu karena menerima panggilan video deepfake yang tampak seperti anaknya meminta uang darurat.
Keterasingan dari dunia teknologi membuat mereka tidak tahu bahwa hal seperti itu bahkan mungkin terjadi.
6. AI Memanfaatkan Pola Komunikasi Boomer yang Emosional dan Personal
Berbeda dengan generasi muda yang tumbuh di dunia meme dan sarkasme, Boomer lebih sering berkomunikasi dengan gaya personal dan emosional. Mereka suka cerita panjang, pesan moral, dan kutipan bijak.
Penipu berbasis AI memanfaatkan ini dengan menciptakan video dan pesan yang “menyentuh hati.” Misalnya, video tokoh agama palsu yang memberi nasihat lembut, atau pesan suara yang terdengar penuh empati. Suara AI kini mampu meniru intonasi manusia hingga level yang nyaris sempurna, membuat pesan palsu terasa tulus.
Ketika emosi sudah tersentuh, logika sering tertinggal. Dan karena Boomer menghargai nilai-nilai seperti kebaikan, moralitas, dan kebersamaan, konten yang meniru nilai-nilai itu akan lebih cepat dipercaya tanpa perlu bukti tambahan.
7. Platform Sosial yang Tidak Ramah terhadap Generasi Tua
Faktor lain yang sering diabaikan adalah desain platform digital. Aplikasi seperti Facebook atau WhatsApp dibuat agar konten mudah dibagikan, bukan agar pengguna berpikir panjang. Fitur forward, auto-play video, dan suggested post membuat pengguna pasif terus disuguhi konten yang memperkuat pandangan mereka.
Boomer, yang tidak terbiasa dengan algoritma semacam ini, tidak sadar bahwa apa yang mereka lihat di beranda bukanlah “dunia nyata”, melainkan hasil kurasi otomatis berdasarkan minat mereka sebelumnya.
Akibatnya, ruang digital mereka menjadi gema dari keyakinan sendiri — dan AI dengan cepat mengisinya dengan konten palsu yang seolah benar. Lingkaran ini menciptakan ilusi kebenaran yang sulit ditembus oleh fakta.
8. Kurangnya Rasa Percaya terhadap Sumber Resmi
Ironis tapi nyata: semakin banyak hoaks beredar, semakin banyak Boomer justru tidak percaya pada media resmi. Mereka merasa media mainstream sudah “dibayar” atau “memihak pihak tertentu.” Akibatnya, mereka beralih ke sumber-sumber alternatif yang tidak terverifikasi — tempat di mana konten deepfake dan AI hoaks justru tumbuh subur.
Fenomena ini mirip dengan teori “echo chamber”: semakin sering seseorang mendengar sesuatu dari sumber yang mereka percaya, semakin yakin mereka bahwa hal itu benar, meski tidak ada bukti.
AI memperkuat efek ini karena mampu menghasilkan ribuan konten palsu yang mendukung narasi tertentu dalam waktu singkat. Bagi Boomer, banjir informasi seragam dari berbagai arah terasa seperti konfirmasi — padahal semua berasal dari sumber manipulatif yang sama.